Selasa, 25 Desember 2012

Dra. ASMIDA, M. Pd;Menghadapi Anak Autis Memasuki Masa Remaja: Sekilas Catatan di Seminar Autis


Menghadapi Anak Autis Memasuki Masa Remaja: Sekilas Catatan di Seminar Autis
Oleh: 
Dra. ASMIDA, M. Pd
Staf Bidang Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru.

Beberape catatan menarik saat penulis hadir untuk menggantikan Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru, untuk memberi sambutan dan sekaligus membuka acara seminar Autis yang diadakan oleh Yayasan Insan Peduli Autis (YIPA), di hotel Akasia Pekanbaru tanggal 15 Desember 2012.  Saat memasuki ruangan tiba-tiba seorang anak yang penulis tebak ini pasti anak autis berjalan dan berdiri dihadapan penulis,  seperti biasanya penulis biasanya tersenyum, namun sianak hanya melihat penulis lame…..juga tersenyum menggerakkan badan dan mengeluarkan suare kira-kira aaaa….mmmm perlahan menggerakkan badan, matanya penulis lihat tidak fokus, dia tidak bergeming terus menatap padehal penulis akan melalui jalan tersebut untuk lewat.  
Entah mengape biasenye penulis akan memegang bahu anak sambil tangan kanan bersalaman dan sebagainye saat kegiatan lapangan ke lembaga kelompok bermain maupun saat acara baru-baru ini yaitu anak dengan kecacatan (adk). Namun saat itu penulis bingung agak beberape saat mau diapakan sianak autis tersebut, mau penulis sentuh seperti biasenye, sianak bisa aja mengamuk dan orang tuanya akan marah atau tersinggung, sebab menurut berbagai sumber maupun pengamatan langsung penulis terhadap teman yang anaknya autis secara umum mereka dengan dunianya sendiri dan menurut penulis memang benar adanya. Akhirnye setelah memandang dan tersenyum pada anak tersebut penulis berbelok berjalan menuju kursi yang telah disediakan didepan. 
Dengan berbagai pertimbangan, bukan tidak sayang, seperti yang penulis ungkap diakhir acara[1] pada beberape adik-adik mahasiswa dan beberape orang tue yang anaknye autis yang ikut dalam acara tersebut, walau pendapat tersebut agak berbeda dengan nara sumber yang kire-kire penulis simpulkan dari kejadian tersebut, kitelah  yang menguasai lingkungan sianak, yang dicontohkannya dengan mendorong salah seorang anak autis yang asik bergerak kemana-mana yang mulai sulit dikontrol salah satu sebabnya mungkin ruangan seminar yang semakin panas[2],  kekursi untuk duduk namun kejadian tersebut menurut pandangan penulis terulang lagi malahan pada contoh berikutnye karena sianak tidak mau juga diatur, setelah mendorong untuk duduk kembali kemudian dengan menatap mata sianak, nara sumber menanyakan apakah ia mau minum? Sianak tetap lengah dengan dunianya sendiri malahan duduknya sudah semakin kacau, terus diulang oleh nara sumber kemudian nara sumber menyimpulkan mungkin sianak haus, mau minum lalu iapun membukakan sebotol minuman kemasan dan memberikan pada anak autis dan sianak meminumnya, tapi nara sumber mungkin tidak melihat atau tidak menyangka bahwa sianak akan menyemburkan kembali air yang dipaksa untuk diminum tadi ke bahagian tubuhnya sendiri dan kesekitarnye hingga pakaiannya basah. Mungkin nara sumber lupa bahwa anak autis senang dengan air, seperti yang diungkapkan dalam http://forum.kompas.com/medis/15097-penanganan-dini-bagi-anak-autis.html diakses 14 des 2012 tentang anak autis menyatakan bahwa penyandang juga suka bermain air.
Menghadapi anak autis memasuki masa remaja, menurut penulis adalah hal yang sangat menghawatirkan, maaf bicara sedangkan menghadapi anak biasa yang tidak autis saje pendidik dirumah khususnye sangat kerepotan, begitu pule pendidik disekolah atau lingkungan, karena pada masa-masa gejolak ini secara umum anak-anak sangat sulit melaluinya (penulis yakin kite semue hampir pernah mengalaminye), dalam tahap mencari identitas diri tersebut berbagai tingkah polah yang dulu mungkin saja tidak ditemui orang tua akan muncul, namun dengan komunikasi dari berbagai pihak terutama ketegasan pendidik dirumah (orang tua khususnya) dan tujuk ajar semase anak masih diusia dini sampai beranjak remaja serta adanya tokoh idola yang baik, ditambah pendidik disekolah yang bukan hanye mengajar tapi juge mengarahkan sebatas kemampuan pendidik disekolah, biasanya menurut pengamatan penulis sianak sesuai dengan perkembangan pemikirannya akan mampu secara perlahan menyaring akan baik buruk yang ia lakukan.
Pertanyaannya bagaimana dengan anak autis? Kalau mau jujur, hal tersebut tidak mungkin berlaku untuk anak autis, dari beberape sumber dan pengamatan penulis menyimpulkan anak autis pada dasarnya anak yang hidup dengan dunianya sendiri, mereka tidak merespons secara khusus lingkungannya, sebagai contoh saat sianak autis yang penulis ceritekan diawal tadi, mengambil posisi duduk ditengah antara penulis (kalau tak salah) dengan pimpinan YIPA berbincang sesaat acara akan berlangsung, begitu pula saat penulis duduk sendiri dikursi panjang mendengarkan paparan nara sumber yang menanggapi berbagai kasus yang dihadapi orang tua peserta seminar maupun pendidik (guru SLB), sianak autis tadi juga sering duduk disamping penulis, kemudian pergi dan seterusnya[3].
Contoh lain beberape kali nara sumber merangkul salah satu anak autis yang berjalan-jalan didepan dekat nara sumber dan menyuruhnye duduk, tapi tetap terulang kembali, kemudian sianak menghapus yang ditulis oleh nara sumber dipapan tulis, setelah beberape saat nara sumber menulis kembali dan sianak autis tetap menghapusnye, walau sudah dirangkul maupun dipanggil oleh orang tua sianak supaya tidak menghapus tulisan[4]. Setelah bersih die akan pergi kedekat jendela tempat die duduk semula, melihat keluar dan mengeluarkan suara bergumam, semakin lame semakin keras nampaknya berlaku pade semue tingkatan. Namun ada juga anak autis yang suka menonton TV yang berbintik-bintik atau tidak ada sinyal hanya bunyi gemuruh[5].
Melihat kenyataan tersebut, penulis ingin mengatakan beberape hal sebagai bahan renungan:
1.    Buang rasa sedih yang berlebihan (setelah orang tue memastikan anaknye autis melalui tekhnologi kedokteran[6]). Menurut penulis dengan kesedihan yang berlarut-larut yang juge tidak akan dipahami oleh anak autis, lebih baik orang tue memfokuskan pade penanganan terpadu, apelagi anak autis yang tingkat tinggi seperti yang penulis kutip dari berbagai sumber menyatakan akan pentingnye  penanganan terpadu seperti dengan dokter spesialis anak, dokter spesialis saraf, dokter spesialis kesehatan jiwa, guru, juga berbagai terapis. Benar, kata salah seorang yang hadir pada acara seminar autis tersebut, saat kami berbincang diakhir acara, “memang butuh biaya besar”.

2.    Adakan tukar pikiran dengan orang tua yang anaknye juge autis, walau tidak akan menyelesaikan masalah, namun dapat sedikit menambah pengetahuan cara menghadapi anak autis yang terdiri dari berbagai tingkatan. Misal seperti yang diungkap oleh para peserta tentang perilaku anak autis dikeluarganya yang kira-kira berumur lima tahun, akhir-akhir ini sering menanggalkan celana dan menunjuk-nunjukkkan penisnya. Menurut penulis siapun orang tua akan sangat risau kejadian tersebut. Kalau sianak tidak autis, (biasanya kejadian kalau selesai mandi, dan orang tua lengah memakaikan celana maupun menselempangkan handuk dibadan sianak) saat orang tua atau pendidik menegur atau bilang “malu-malu …cepat pakai celana”, sianak akan menurut dan secara umum tidak akan mengulangi lagi malahan dia sendiri yang mengatakan “malu dan menutup penisnya dengan tangan”[7]. Kekhawatiran tersebut sangat beralasan, apalagi saat membayangkan bagaimana saat sianak autis remaja? Sementara dia tidak tau apa yang dilakukannya karena seperti yang diungkapkan dalam http://forum.kompas.com/medis/15097-penanganan-dini-bagi-anak-autis.html diakses 14 des 2012 menyatakan penyebab autis adalah sel otak tidak sempurna.

3.    Perilaku lingkungan khususnye orang tua, yang terlampau memanjakan anak dan sering menganggap anak tidak tau atau masih kecil sehingga tidak tegas memperlakukan anak dan berlarut saat di memasuki usia remaja mengucapakan kata-kata tanpa tau makna yang dikatakan. Misal salah satu contoh saat salah seorang tua menyampaikan keluh kesahnya karena anak antara lain sering mencarut mungkin meniru lingkungan, dia tidak tau lagi apa yang harus diucapkan untuk melarang anaknya, samar-samar terdengar si anak mencarut[8] walau sudah dilarang-larang tetap tidak berpengaruh.

4.    Pisahkan tidur orang tua dengan anak. Kalau penulis sederhanakan ucapan nara sumber, semakin kecil kita memisahkan tidur dengan anak semakin mudah kita mengawasi saat dia remaja, bisa saja anak autis terjaga dan meniru yang dilakukan orang tuanya.

Perlu koordinasi antara orang tua dengan tempat anak diterapi, hal ini untuk menghindari seperti yang dialami oleh salah seorang peserta yang kewalahan kalau dirumah anaknya sudah tidak patuh. Menurut penulis yang disimpulkan dari seminar mungkin orang tua tidak tega memperlakukan sianak yang dalam pikirannya lemah, tapi ingat suatu waktu sianak akan lebih kuat dan tidak bisa lagi dikendalikan perilakunya, dan orang tua semakin lemah apa yang akan terjadi? Pelajari kode-kode tertentu yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak, misal saat anak autis  melakukan masturbasi[9], bapak nara sumber memberikan tanda misal simbol kertas merah yang artinya hanya boleh dilakukan di kamar mandi, begitu pula simbol-simbol lain misal simbol, mana orang tua (ayah atau ibu), atau orang yang diluar lingkungan keluarga.

Dari berbagai kasus diatas menurut hemat penulis, yang paling penting dilakukan pendidik terutama orang tua adalah harus mengetahui tingkat autis anak, sehingga sedikit memudahkan penanganan respon terhadap terapi yang dilakukan selain itu juga sebagai antisipasi awal untuk memantau aktivitas si anak autis saat memasuki usia remaja yang pasti akan lebih sulit, walau sianak nampak tenang saat terapi tapi tidak merupakan jaminan anak tidak melawan[10], hal ini juga mengindikasikan tidak mungkin anak selamanya akan diterapi, kedekatan dan komunikasi orang tua atau orang terdekatlah yang sangat dibutuhkan.
Perlu dicatat bahwa melarang saat anak autis masih kecil memang sulit, tapi…akan sangat sangat entah pangkat berapa sulit, saat mereka memasuki usia remaja, ketegasan orang tua sangat dibutuhkan. Walau tidak menyembuhkan tapi sedikit mengurangi resiko hal yang tidak diinginkan dikemudian hari, ingat anak-anak seperti ini kadang – kadang lebih cepat masa puber dan adanya dorongan seksual, dan ini harus benar-benar dipahami oleh orang tua khususnya atau orang yang dekat dengan sianak autis misal kakak atau abang sehingga ada komunikasi yang dimengerti saat anak autis berubah perlakuannya dari biasa.

Sekianlah, mudah2xan bisa memberi manfaat.

Pekanbaru, 25 Desember 2012 s.d 26 Desember 2012.
Selamat Natal, 25 Desember 2012 dan Selamat menyambut Tahun Baru 2013.

  


[1]Karena tidak ada perkuliahan dan penasaran penanganan autis saat remaja, penulis tetap mengikuti sampai akhir acara yang  kira2x tak sampai jam 13.00 wib selesai.
[2] Listrik di hotel tempat acara mati kemudian hidup sesaat setelah itu mati selamanya, menyebabkan ruangan  panas  jangankan anak autis peserta dan penulis sendiri gerah luar biasa, selain itu paparan yang seharusnya bisa dilihat dislide tak bisa ditampilkan oleh nara sumber.
[3] Pengamatan penulis dengan anak autis yang beranjak remaja .
[4] Pengamatan penulis sianak autis yang satu ini suka papan yang bersih.
[5] Salah satu kasus dari orang tua peserta seminar.
[6] Secara umum orang tua yang hadir pada seminar telah melakukan hal tersebut, malahan ada yang berkonsultasi denganbeberapa dokter,  baik dokter di Pekanbaru maupun diluar Pekanbaru.
[7] Pengamatan penulis dengan kemenakan dan cucu dari kemenakan dari masa ke masa.
[8] Mengucapkan kata-kata kotor seperti pantek dan sebagainya.
[9] Salah satu contoh yang disampaikan nara sumber, yang menarik anak autis di salah satu daerah ke kamar mandi agar ia tenang. Contoh ini juga disampaikan oleh salah seorang peserta seminar.
[10] Salah satu kasus yang dipaparkan nara sumber, disuatu daerah anak autis terpaksa diperlakukan tidak wajar karena mereka sudah sampai pada tingkat yang sangat menghawatirkan, sianak sangat kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar