Menghadapi Anak Autis Memasuki Masa
Remaja: Sekilas Catatan di Seminar Autis
Oleh:
Dra. ASMIDA, M. Pd
Staf
Bidang Pengembangan Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru.
Beberape
catatan menarik saat penulis hadir untuk menggantikan Kepala Bidang Pendidikan
Luar Sekolah Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru, untuk memberi sambutan dan
sekaligus membuka acara seminar Autis yang diadakan oleh Yayasan Insan Peduli
Autis (YIPA), di hotel Akasia Pekanbaru tanggal 15 Desember 2012. Saat memasuki ruangan tiba-tiba seorang anak yang
penulis tebak ini pasti anak autis berjalan dan berdiri dihadapan penulis, seperti biasanya penulis biasanya tersenyum,
namun sianak hanya melihat penulis lame…..juga tersenyum menggerakkan badan dan
mengeluarkan suare kira-kira aaaa….mmmm perlahan menggerakkan badan, matanya
penulis lihat tidak fokus, dia tidak bergeming terus menatap padehal penulis
akan melalui jalan tersebut untuk lewat.
Entah
mengape biasenye penulis akan memegang bahu anak sambil tangan kanan bersalaman
dan sebagainye saat kegiatan lapangan ke lembaga kelompok bermain maupun saat
acara baru-baru ini yaitu anak dengan kecacatan (adk). Namun saat itu penulis
bingung agak beberape saat mau diapakan sianak autis tersebut, mau penulis
sentuh seperti biasenye, sianak bisa aja mengamuk dan orang tuanya akan marah
atau tersinggung, sebab menurut berbagai sumber maupun pengamatan langsung
penulis terhadap teman yang anaknya autis secara umum mereka dengan dunianya
sendiri dan menurut penulis memang benar adanya. Akhirnye setelah memandang dan
tersenyum pada anak tersebut penulis berbelok berjalan menuju kursi yang telah
disediakan didepan.
Dengan
berbagai pertimbangan, bukan tidak sayang, seperti yang penulis ungkap diakhir
acara[1] pada beberape adik-adik
mahasiswa dan beberape orang tue yang anaknye autis yang ikut dalam acara
tersebut, walau pendapat tersebut agak berbeda dengan nara sumber yang kire-kire
penulis simpulkan dari kejadian tersebut, kitelah yang menguasai lingkungan sianak, yang
dicontohkannya dengan mendorong salah seorang anak autis yang asik bergerak
kemana-mana yang mulai sulit dikontrol salah satu sebabnya mungkin ruangan
seminar yang semakin panas[2], kekursi untuk duduk namun kejadian tersebut
menurut pandangan penulis terulang lagi malahan pada contoh berikutnye karena
sianak tidak mau juga diatur, setelah mendorong untuk duduk kembali kemudian
dengan menatap mata sianak, nara sumber menanyakan apakah ia mau minum? Sianak tetap
lengah dengan dunianya sendiri malahan duduknya sudah semakin kacau, terus
diulang oleh nara sumber kemudian nara sumber menyimpulkan mungkin sianak haus,
mau minum lalu iapun membukakan sebotol minuman kemasan dan memberikan pada
anak autis dan sianak meminumnya, tapi nara sumber mungkin tidak melihat atau
tidak menyangka bahwa sianak akan menyemburkan kembali air yang dipaksa untuk
diminum tadi ke bahagian tubuhnya sendiri dan kesekitarnye hingga pakaiannya
basah. Mungkin nara sumber lupa bahwa anak autis senang dengan air, seperti
yang diungkapkan dalam http://forum.kompas.com/medis/15097-penanganan-dini-bagi-anak-autis.html
diakses 14 des 2012 tentang anak autis menyatakan bahwa penyandang juga suka bermain air.
Menghadapi
anak autis memasuki masa remaja, menurut penulis adalah hal yang sangat
menghawatirkan, maaf bicara sedangkan menghadapi anak biasa yang tidak autis
saje pendidik dirumah khususnye sangat kerepotan, begitu pule pendidik
disekolah atau lingkungan, karena pada masa-masa gejolak ini secara umum
anak-anak sangat sulit melaluinya (penulis yakin kite semue hampir pernah
mengalaminye), dalam tahap mencari identitas diri tersebut berbagai tingkah
polah yang dulu mungkin saja tidak ditemui orang tua akan muncul, namun dengan
komunikasi dari berbagai pihak terutama ketegasan pendidik dirumah (orang tua khususnya)
dan tujuk ajar semase anak masih diusia dini sampai beranjak remaja serta adanya
tokoh idola yang baik, ditambah pendidik disekolah yang bukan hanye mengajar
tapi juge mengarahkan sebatas kemampuan pendidik disekolah, biasanya menurut
pengamatan penulis sianak sesuai dengan perkembangan pemikirannya akan mampu
secara perlahan menyaring akan baik buruk yang ia lakukan.
Pertanyaannya
bagaimana dengan anak autis? Kalau mau jujur, hal tersebut tidak mungkin
berlaku untuk anak autis, dari beberape sumber dan pengamatan penulis
menyimpulkan anak autis pada dasarnya anak yang hidup dengan dunianya sendiri,
mereka tidak merespons secara khusus lingkungannya, sebagai contoh saat sianak
autis yang penulis ceritekan diawal tadi, mengambil posisi duduk ditengah antara
penulis (kalau tak salah) dengan pimpinan YIPA berbincang sesaat acara akan berlangsung,
begitu pula saat penulis duduk sendiri dikursi panjang mendengarkan paparan
nara sumber yang menanggapi berbagai kasus yang dihadapi orang tua peserta seminar
maupun pendidik (guru SLB), sianak autis tadi juga sering duduk disamping penulis,
kemudian pergi dan seterusnya[3].
Contoh
lain beberape kali nara sumber merangkul salah satu anak autis yang
berjalan-jalan didepan dekat nara sumber dan menyuruhnye duduk, tapi tetap
terulang kembali, kemudian sianak menghapus yang ditulis oleh nara sumber
dipapan tulis, setelah beberape saat nara sumber menulis kembali dan sianak autis
tetap menghapusnye, walau sudah dirangkul maupun dipanggil oleh orang tua
sianak supaya tidak menghapus tulisan[4]. Setelah bersih die akan
pergi kedekat jendela tempat die duduk semula, melihat keluar dan mengeluarkan
suara bergumam, semakin lame semakin keras nampaknya berlaku pade semue
tingkatan. Namun ada juga anak autis yang suka menonton TV yang
berbintik-bintik atau tidak ada sinyal hanya bunyi gemuruh[5].
Melihat
kenyataan tersebut, penulis ingin mengatakan beberape hal sebagai bahan
renungan:
1. Buang
rasa sedih yang berlebihan (setelah orang tue memastikan anaknye autis melalui
tekhnologi kedokteran[6]). Menurut penulis dengan
kesedihan yang berlarut-larut yang juge tidak akan dipahami oleh anak autis,
lebih baik orang tue memfokuskan pade penanganan terpadu, apelagi anak autis
yang tingkat tinggi seperti yang penulis kutip dari berbagai sumber menyatakan
akan pentingnye penanganan terpadu
seperti dengan dokter spesialis anak, dokter spesialis saraf, dokter spesialis
kesehatan jiwa, guru, juga berbagai terapis. Benar, kata salah seorang yang
hadir pada acara seminar autis tersebut, saat kami berbincang diakhir acara, “memang
butuh biaya besar”.
2. Adakan
tukar pikiran dengan orang tua yang anaknye juge autis, walau tidak akan
menyelesaikan masalah, namun dapat sedikit menambah pengetahuan cara menghadapi
anak autis yang terdiri dari berbagai tingkatan. Misal seperti yang diungkap
oleh para peserta tentang perilaku anak autis dikeluarganya yang kira-kira
berumur lima tahun, akhir-akhir ini sering menanggalkan celana dan menunjuk-nunjukkkan
penisnya. Menurut penulis siapun orang tua akan sangat risau kejadian tersebut.
Kalau sianak tidak autis, (biasanya kejadian kalau selesai mandi, dan orang tua
lengah memakaikan celana maupun menselempangkan handuk dibadan sianak) saat
orang tua atau pendidik menegur atau bilang “malu-malu …cepat pakai celana”,
sianak akan menurut dan secara umum tidak akan mengulangi lagi malahan dia
sendiri yang mengatakan “malu dan menutup penisnya dengan tangan”[7]. Kekhawatiran tersebut
sangat beralasan, apalagi saat membayangkan bagaimana saat sianak autis remaja?
Sementara dia tidak tau apa yang dilakukannya karena seperti yang diungkapkan
dalam http://forum.kompas.com/medis/15097-penanganan-dini-bagi-anak-autis.html
diakses 14 des 2012 menyatakan penyebab autis adalah sel otak tidak sempurna.
3. Perilaku
lingkungan khususnye orang tua, yang terlampau memanjakan anak dan sering
menganggap anak tidak tau atau masih kecil sehingga tidak tegas memperlakukan
anak dan berlarut saat di memasuki usia remaja mengucapakan kata-kata tanpa tau
makna yang dikatakan. Misal salah satu contoh saat salah seorang tua
menyampaikan keluh kesahnya karena anak antara lain sering mencarut mungkin
meniru lingkungan, dia tidak tau lagi apa yang harus diucapkan untuk melarang anaknya,
samar-samar terdengar si anak mencarut[8] walau sudah
dilarang-larang tetap tidak berpengaruh.
4. Pisahkan
tidur orang tua dengan anak. Kalau penulis sederhanakan ucapan nara sumber, semakin
kecil kita memisahkan tidur dengan anak semakin mudah kita mengawasi saat dia
remaja, bisa saja anak autis terjaga dan meniru yang dilakukan orang tuanya.
Perlu koordinasi antara orang tua dengan tempat anak diterapi,
hal ini untuk menghindari seperti yang dialami oleh salah seorang peserta yang
kewalahan kalau dirumah anaknya sudah tidak patuh. Menurut penulis yang
disimpulkan dari seminar mungkin orang tua tidak tega memperlakukan sianak yang
dalam pikirannya lemah, tapi ingat suatu waktu sianak akan lebih kuat dan tidak
bisa lagi dikendalikan perilakunya, dan orang tua semakin lemah apa yang akan
terjadi? Pelajari kode-kode tertentu yang boleh dan tidak boleh dilakukan anak,
misal saat anak autis melakukan
masturbasi[9], bapak nara sumber
memberikan tanda misal simbol kertas merah yang artinya hanya boleh dilakukan
di kamar mandi, begitu pula simbol-simbol lain misal simbol, mana orang tua
(ayah atau ibu), atau orang yang diluar lingkungan keluarga.
Dari
berbagai kasus diatas menurut hemat penulis, yang paling penting dilakukan pendidik
terutama orang tua adalah harus mengetahui tingkat autis anak, sehingga sedikit
memudahkan penanganan respon terhadap terapi yang dilakukan selain itu juga
sebagai antisipasi awal untuk memantau aktivitas si anak autis saat memasuki
usia remaja yang pasti akan lebih sulit, walau sianak nampak tenang saat terapi
tapi tidak merupakan jaminan anak tidak melawan[10], hal ini juga mengindikasikan
tidak mungkin anak selamanya akan diterapi, kedekatan dan komunikasi orang tua
atau orang terdekatlah yang sangat dibutuhkan.
Perlu dicatat bahwa melarang saat anak autis masih kecil
memang sulit, tapi…akan sangat sangat entah pangkat berapa sulit, saat mereka
memasuki usia remaja, ketegasan orang tua sangat dibutuhkan. Walau tidak
menyembuhkan tapi sedikit mengurangi resiko hal yang tidak diinginkan
dikemudian hari, ingat anak-anak seperti ini kadang – kadang lebih cepat masa puber
dan adanya dorongan seksual, dan ini harus benar-benar dipahami oleh orang tua
khususnya atau orang yang dekat dengan sianak autis misal kakak atau abang sehingga
ada komunikasi yang dimengerti saat anak autis berubah perlakuannya dari biasa.
Sekianlah,
mudah2xan bisa memberi manfaat.
Pekanbaru,
25 Desember 2012 s.d 26 Desember 2012.
Selamat
Natal, 25 Desember 2012 dan Selamat menyambut Tahun Baru 2013.
[1]Karena
tidak ada perkuliahan dan penasaran penanganan autis saat remaja, penulis tetap
mengikuti sampai akhir acara yang kira2x
tak sampai jam 13.00 wib selesai.
[2] Listrik
di hotel tempat acara mati kemudian hidup sesaat setelah itu mati selamanya, menyebabkan
ruangan panas jangankan anak autis peserta dan penulis
sendiri gerah luar biasa, selain itu paparan yang seharusnya bisa dilihat
dislide tak bisa ditampilkan oleh nara sumber.
[3] Pengamatan
penulis dengan anak autis yang beranjak remaja .
[4] Pengamatan penulis sianak autis
yang satu ini suka papan yang bersih.
[5] Salah
satu kasus dari orang tua peserta seminar.
[6]
Secara umum orang tua yang hadir pada seminar telah melakukan hal tersebut,
malahan ada yang berkonsultasi denganbeberapa dokter, baik dokter di Pekanbaru maupun diluar
Pekanbaru.
[7] Pengamatan
penulis dengan kemenakan dan cucu dari kemenakan dari masa ke masa.
[8]
Mengucapkan kata-kata kotor seperti pantek dan sebagainya.
[9] Salah
satu contoh yang disampaikan nara sumber, yang menarik anak autis di salah satu
daerah ke kamar mandi agar ia tenang. Contoh ini juga disampaikan oleh salah
seorang peserta seminar.
[10] Salah
satu kasus yang dipaparkan nara sumber, disuatu daerah anak autis terpaksa diperlakukan
tidak wajar karena mereka sudah sampai pada tingkat yang sangat menghawatirkan,
sianak sangat kuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar