Rabu, 21 November 2012

Dra. ASMIDA, M. Pd. FORUM KOMUNIKASI KELUARGA ANAK DENGAN KECACATAN (FKKADK)

FORUM KOMUNIKASI KELUARGA ANAK DENGAN KECACATAN (FKKADK)

Oleh:

Dra. ASMIDA, M. Pd
Staf Bidang PLS Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru


Diawal tulisan ini, penulis ingin mengetekan bahwa tidak ada yang sempurna , kecuali kesempurnaan itu sendiri.  Menurut penulis, seseorang pada dasarnya tidaklah benar-benar sempurna, kesempurnaan seseorang terletak pada ketidaksempurnaannya. Hal ini berarti ada batas sempurna, kemana batas itu lebih cendrung apakah kesempurna atau pada ketidaksempurnaannya. Bersyukurlah kalau kite terletak mendekati sempurna, bagaimane yang tidak, jawabannye sudah pasti adenye kecacatan (ketidaksempurnaan) atau penyandang cacat.
Undang-undang No. 4 th 1997 tentang penyandang cacat bab 1 pasal 1 menyatekan bahwe  penyandang cacat  adalah setiap orang yang mempunyai kelainan  fisik dan atau mental yang dapat mengganggu atau merupekan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya,  yang terdiri atas: penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental maupun penyandang cacat  fisik dan mental.
Kalaulah bisa memilih penulis yakin mereka (anak dengan kecacatan) tidak ingin dilahirkan dalam keadaan cacat,  begitu pula dengan orang tua pasti tidak ingin hal tersebut terjadi, terutama ibu secara umum. Namun apa daya, karena berbagai faktor penyebab yang tidak dapat ditulis dan dilukiskan walau oleh sipelukis, si buah hati lahir dalam keadaan cacat dan tidak ada doa untuk menolak kecacatan itu, tidak peduli apapun lingkup taraf hidup keluarga sianak, baik kaya maupun miskin dan sebagainya. 
Beruntunglah anak yang mempunyai orang tua yang sudah memahami keberadaan anak dengan kecacatan, memberi kesempatan pada anak untuk berkembang sesuai dengan kondisi dirinya, bukan memaksakan kehendak orang tue. Tidak memanjakan anak yang berlebihan karena keterbatasannya, tapi membiasakan anak sejak dini untuk mandiri sebatas kemampuan anak tersebut. Alangkah baiknya lagi kalau anak dengan kecacatan disekolahkan pada sekolah yang mereka merasa nyaman akan keberadaannya, dengan begitu mereka biasa bersosialisasi bersama kawan-kawannya yang lain. 
Ada beberapa kasus dari hasil pengamatan penulis, dimana orang tua tidak menyadari atau mungkin tidak mau menyadari kecacatan yang dimiliki anaknya sehingga menyebabkan sianak semakin terpuruk dan memburuk. Biasanya ini terjadi pada anak dengan penyandang cacat mental yang secara umum sulit dilihat dan memiliki orang tua kaya/ berada dan lingkungan yang terpandang. Jujur penulis kasihan melihat sianak yang pada dasarnya tidak tau ambisi orang tua mungkin untuk menjaga marwah dsbnya. Hal ini penulis simpulkan dari wawancara  tidak terstruktur dengan beberape kawan baik yang berkecimpung di bidang pendidikan maupun orang awam dalam salah satu kegiatan lapangan.
Orang tue mane yang tidak menyayangi anaknye, namun menurut penulis rase sayang yang berlebihan, seakan-akan anak dengan kecacatan harus dibantu secara keseluruhan harus mulai diubah kalau tidak ingin sianak menjadi terabaikan hak hidupnye kelak, selain itu orang tue harus sadar  tidak selamanya  sehat dan bertenage begitu pule  tidak selamanya  orang tua akan  hidup,  terus menjaga si anak dengan kecacatan. Pola pikir seperti inilah yang harus diubah, betapapun kasih sayang orang tua (ayah & ibu) maupun keluarga yang mendidik anak dengan kecacatan,  menurut penulis harus menyadari kasih sayang yang sejati bile die memberikan kesempatan  anak untuk menghargai dirinye. Dengan demikian paling tidak die punye bekal untuk dirinye dan sedikit mengurangi ketergantungan pade orang lain seperti kakak, abang dsbnye saat orang tue terutame ibu (yang tetap menyayangi apepun kondisi sianak) telah tidak ade di muke bumi. Seperti ungkapan berikut: sayang ayah sepanjang penglihatan, sayang ibu sepanjang jalan, sayang saudara saat berada".

Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar